Awal Masuknya Islam : Dakwah dan Perdagangan
"Dakwah Melalui Jalur Perdagangan pada
Masa Masuknya Islam di Indonesia"
sumber : https://3.bp.blogspot.com/
Nabi
Muhammad Saw terlahir di dunia ini sebagai salah satu utusan Allah dengan misi untuk
menyebar luaskan ajaran agama Islam. Hal itu ditegaskan oleh Allah dalam
firman-Nya, QS. al-Anbiya: 107, yang artinya “Dan tidaklah engkau
(Muhammad) diutus ke muka bumi ini kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta berarti tidak mengenal
dimensi ruang dan waktu. Kapan saja, dimana saja, akan seperti itulah Islam,
menjadi sebuah rahmat untuk siapa saja. Sehingga, meskipun Rasulullah Saw telah
wafat sejak berabad-abad yang lalu, semangat dalam menyebarkan agama Islam
tidak pernah padam. Hal ini dapat dibuktikan, salah satunya adalah dengan fakta
bahwa Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah penganut agama Islam
terbanyak di dunia. Hal tersebut dapat diartikan meskipun Rasulullah Saw.,
tidak sempat secara langsung menyebarkan agama Islam hingga ke Indonesia, Islam
tetap bisa tersebar di Indonesia.
Lantas bagaimana
Islam bisa tersebar dan diterima di Indonesia? Terdapat berbagai teori
mengenai proses Islamisasi di Indonesia. Berdasarkan jurnal “Wardah” yang
ditulis oleh Rosita Baiti, seorang dosen tetap Fakultas Dakwah
dan Komunikasi UIN Raden Fatah, dengan judul “TEORI DAN PROSES ISLAMISASI DI INDONESIA”, teori-teori tersebut adalah :
1.
Teori Pertama.
Teori
yang tergolong lebih awal, karena itu disebut teori pertama, dicetuskan oleh
Christian Snouck Hurgronje, seorang orientalis terkemuka bangsa Belanda yang
pernah menjabat Penasehat Tentang Urusan-urusan Arab dan Bumi Putra Indonesia.
Teorinya itu dikemukakan dalam tulisannya ‘’De Islam in NederlandschIndie’’,
dalam Groote Godsdienten, Seri II, (Baarn : Holandia Drukkerij, 1913), halaman
359-392.
Teori
ini menyebutkan bahwa proses Islamisasi Indonesia mulai berlangsung kira-kira
setengah abad sebelum kota Bagdad ditaklukkan oleh raja Mongol Hulagu pada
tahun 1258 M. Pengislaman dilakukan oleh saudagar-saudagar muslim dan para
penetap dari negara-negara di India Muka. Mereka menetap bersama dengan
penduduk lokal Indonesia. Dan kemudian memperistri seorang wanita dari
lingkungan itu. Dalam hal ini, para saudagar muslim menghendaki wanita yang
akan dinikahinya untuk terlebih dahulu memeluk Islam. Hal semacam tadi terus
berulang, hingga lambat laun terbentuklah desa-desa, daerah-daerah dan kerajaan
Islam.
Selain
itu, proses Islamisasi juga didorong oleh tingginya antusiasme rakyat jelata
terhadap konsep Islam yang tidak mengenal sistem kasta. Seperti yang diketahui
bahwa saat itu memang masyarakat umumnya memeluk Hindu, yang didalamnya
terdapat sistem kasta, yang jelas sangat merugikan rakyat jelata.
Teori
ini menyimpulkan bahwa: Pertama, proses Islamisasi di Indonesia mulai
berlangsung sejak awal abad ke-13 M. Kedua, Islam datang ke Indonesia tidak
langsung dari Arab melainkan lewat India. Ketiga, proses Islamisasi itu terjadi
melalui perkawinan dan penaklukan.
2.
Teori Kedua
Teori
kedua lahir sebagai reaksi terhadap teori pertama. Terdapat beberapa ahli yang
meragukan hasil penemuan Snouck. Pertentangan ini muncul karena, menurut
mereka, berdasarkan berita-berita Cina yang berasal dari abad ke-7 M (zaman
dinasti Tang) dan sumber-sumber Jepang pada abad ke- 8 M, orang-orang Muslim
dari Arab telah datang ke negeri-negeri Melayu, khususnya Sumatera, pada abad
ke-7 M. (A.Hasjmi, 1981).
Dijelaskan
Tjadrasasmita dan Hamka, sumber-sumber Cina itu menyebutkan bahwa di Cho’po
(Jawa) pada masa itu, terdapat kerajaan Holing (Kalingga di Jawa Timur) yang
pada 674-675 M diperintah oleh Ratu Sima (dalam Hasjmi, 1981). Berita tentang
kerajaan ini sampai ke negeri Ta-Cheh atau Tashih (Arab) yang kemudian mengirim
utusanya ke Holing. Sementara itu, sumber- sumber Jepang menceritakan tentang
banyaknya kapal orang Ta- Cheh dan orang-orang Posse (Pasai) yang berlabuh di
Khanfu (Kanton).
Sedangkan,
Raja Arab pada waktu itu adalah Mu’awiyah yang memerintah dari tahun 657-780 M.
Dengan demikian, utusan raja Ta-Cheh ke Holing, adalah utusan Mu’awiyah yang di
kirim dalam rangka menjajaki kemungkinan pembentukan Armada Islam yang lebih
besar.
Pokok
bahasan teori kedua yaitu mengenai kedatangan Islam ke Indonesia adalah
langsung dari Arab. Motivasi kedatangan dan proses Islamisasi tersebut mungkin
terutama berhubungan dengan faktor ekonomi, yaitu melalui pelayaran dan
perdagangan. Namun demikian proses ini dapat pula secara khusus melalui Dakwah
Islamiyah yang dilakukan para penyiar (Muballigh) yang kedatanganya dapat
bersama-sama dengan para pedagang, atau tersendiri.
3.
Teori Pendukung tentang Masuknya
Islam ke Indonesia.
Masuknya
agama dan kebudayaan Islam terjadi seiring perkembangan hubungan perdagangan
antara Indonesia dengan negara India, Persia, dan Arab pada abad ke-7 sampai
dengan abad ke-15 Masehi ( Samsul Farid, 2013). Mengenai siapa pembawa Islam
kewilayah Nusantara, terdapat beberapa teori berikut:
a. Teori
Gujarat ( India)
Teori ini menyatakan
bahwa masuknya Islam ke Indonesia dibawa oleh orang-orang Gujarat. Tokoh yang
mendukung teori ini adalah ilmuan-ilmuan Belanda seperti : Pijnappel dan
Moquette. Mereka berpendapat bahwa yang membawa agama Islam ke Indonesia adalah
orang Arab yang telah lama di wilayah tersebut.
Ilmuan Belanda lainnya,
yaitu Snouck Hurgronje, mengungkapkan bahwa dibanding dengan orang-orang Arab,
hubungan dagang Indonesia dengan orang Gujarat telah berlangsung lebih awal.
Menurut G.W.J. Drewes, mazhab yang dianut oleh orang-orang Islam di Indonesia
dan di Gujarat memiliki kesamaan yaitu Mazhab Syafi’i. Maquette mempertegas
teori ini dengan hasil penelitiannya terhadap temuan batu nisan di kedua
wilayah Indonesia dan Gujarat. Ia berpendapat bahwa ada persamaan antara batu
nisan di Pasai dengan batu nisan Syekh Maulana Malik Ibrahim di Gresik dengan
batu nisan yang berada di Cambay, Gujarat.
b. Teori
Benggali (Bangladesh)
Teori ini dikemukakan
oleh S.Q. Fatimi. Teori ini mengatakan bahwa Islam yang datang ke Nusantara
berasal dari Benggali. Teori ini didasarkan tokoh-tokoh terkemuka di Pasai
adalah orang-orang keturunan dari Benggali. Selain itu, ia juga mengemukakan
bahwa batu nisan Malik al-Saleh memiliki banyak persamaan dengan batu nisan di
Benggali.
c. Teori
Persia
Pendukung teori Persia
ini adalah P.A. Husein Jayadiningrat dan M. Dahlan Mansur. Menurut teori
Persia, Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh orang-orang Persia. Dasar dari
teori Persia ini adanya perkumpulan orang-orang Persia di Aceh sejak abad
ke-15. Pada saat itu pemakaian gelar Syah yang biasa digunakan di Persia, juga
pernah digunakan raja-raja. Selain itu, terdapat persamaan budaya antara
masyarakat Indonesia dengan Persia. Contohnya, peringatan hari Asyura pada
tanggal 10 Muharram atas wafatnya cucu Nabi Muhammad, Hasan dan Husen.
d. Teori
Pantai Coromandel (India)
Teori ini dikemukakan
oleh Thomas W. Arnold dan Morrison. Menurut teori ini, Islam datang ke
Indonesia melalui Coromandel dan Malabar (India). Dasar teori ini ketidak
mungkinan Gujarat menjadi sumber penyebar Islam ketika itu. Alasannya, Gujarat
belum menjadi pusat perdagangan yang menghubungkan antara wilayah Timur Tengah
dengan wilayah Nusantara.
e. Teori Arab
Teori ini menyatakan
bahwa Islam di Indonesia, datang dari sumbernya langsung, yaitu bangsa Arab.
Teori ini didukung oleh Naquib al-Attas, Buya Hamka, Keyzer, M.Yunus Jamil, dan
Crawfurd. Dasar teori ini adalah keterangan yang menyatakan bahwa pada abad
ke-7, orang-orang Islam Arab telah ada di pantai Barat Sumatra. Selain itu, ada
persamaan Mazhab yang dianut bangsa Arab dengan Indonesia. Juga digunakannya
gelar al-Malik pada raja-raja Samudra Pasai, sesuai dengan nama-nama Sultan di
Mesir.
Setelah membaca teori tersebut,
dapat ditemukan bahwa keberhasilan
tersebarnya Islam di Indonesia adalah salah satunya atas jasa dari para
pedagang muslim. Namun, sejalan dengan pendapat A.H. Johns, ia menjelaskan
bahwa sulit dipercaya bila yang melakukan pelayaran untuk berdagang sekaligus
berfungsi sebagai penyebar Islam hanya para pedagang muslim biasa.
Selain itu sejarawan
Muslim Azyumardi Azra juga turut mendukung, dengan alasan bahwa yang menjadi
penyebar Islam adalah para sufi pengembara yang sekaligus berprofesi sebagai
pedagang yang berperan utama dalam pensyiaran ajaran Islam. Keberhasilan para
sufi dalam syiar Islam lebih disebabkan karena dalam penyajiaan Islam kepada
masyarakat menggunakan kemasan yang atraktif, yaitu menekankan kesesuaian Islam
dengan tradisi lokal yang ada, ketimbang perubahan drastis dalam kepercayaan
dan praktik keagamaan lokal (Hindu dan Buddha).
Hal tersebut dipertegas
oleh Mukti Ali, bahwa keberhasilan pengembangan Islam di Indonesia adalah
melalui tarekat dan tasawuf. Sartono Kartodirdjo menjelaskan bahwa faktor yang
turut mendorong proses Islamisasi di Indonesia ialah aliran sufisme atau
mistik. Beberapa wali mencampurkan ajaran Islam dengan mistik, sehingga timbul
suatu sinkretisme. Mereka memakai unsur-unsur kultur pra-Islam.
Lebih lanjut, melalui perdagangan
terciptalah interaksi antara pedagang-pedagang muslim dan masyarakat lokal baik
dari golongan masyarakat bawah, maupun golongan kelas atas. Sehingga keduanya
saling mengenal secara perlahan dan intensif. Bahkan terjadi perkawinan
diantara para pedagang muslim dengan perempuan-perempuan penduduk lokal. Terbentuklah
keluarga-keluraga muslim di pesisir-pesisir pantai Nusantara, yang kemudian
terus berkembang hingga akhirnya menyentuh pedalaman dan bahkan wilayah pusat-pusat
kerajaan Hindu-Budha.
Sementara itu, Anthony Reid juga menyebutkan beberapa
faktor penting yang semakin mendorong Islamisasi di Melayu, termasuk Indonesia,
pada masa perdagangan, diantaranya :
· Portabilitas
sistem keimanan Islam.
Sebelum Islam datang,
sistem kepercayaan lokal, seperti penyembahan arwah nenek moyang, tidaklah
portable, tidak siap pakai dimana pun, tidak berlaku dalam semua kondisi.
· Asosiasi
Islam dengan kekayaan.
Masyarakat lokal
pertama kali bertemu dan berinteraksi dengan orang Muslim pendatang di wilayah
pesisir atau pelabuhan. Mereka adalah pedagang-pedagang muslim yang kaya raya.
·
Pengenalan kebudayaan literasi yang relatif
universal bagi penduduk.
Al-Attas telah
menyimpulkan, pengenalan kebudayaan literasi ini telah memunculkan semangat
rasionalisme dan intelektualisme, bukan saja di kalangan kerajaan atau Istana,
tetapi juga di kalangan rakyat jelata.
Berdasarkan pemaparan
diatas, semakain jelas bahwa Islam di Indonesia dan perdagangan tidak dapat
dipisahkan. Yang sekaligus mengisyaratkan bahwa misi dakwah sebenarnya adalah
milik siapapun. Dan yang juga tidak kalah penting adalah metode dalam
penyampaian dakwah tersebut. Tidak melulu secara kaku, dan jika dilihat lagi,
yang terjadi di Indonesia adalah dakwah dilakukan dengan halus, fleksibel, dan
perlahan namun tetap poin utama dalam dakwah, yaitu amar ma’ruf nahi munkar dapat tersampaikan dan diserap oleh
masyarakat.
Baiti, R. (2014). Teori dan Proses Islamisasi di Indonesia. Wardah: No.
XXVIII/ Th. XV, 133-140.
Abd. Ghofur, M. A. (2011). Tela'ah Kritis Masuk dan
Berkembangnya Islam di Nusantara. Jurnal Ushuluddin Vol. XVII No. 2,
164-166.
Komentar
Posting Komentar