Sebuah Refleksi di Hari Kartini



Perempuan sebagai pendukung peradaban!
Bukan, bukan karena perempuan dianggap lebih baik, namun karena saya yakin dari perempuanlah perubahan besar dapat dimulai (...) Dari perempuan, seorang anak mendapat pendidikan pertama. Di pangkuan seorang ibu seorang anak belajar merasa, berpikir, dan berbicara (...) Dan bagaimana para ibu dapat mendidik anaknya jika mereka tidak terdidik?











Sepenggal Kisah Kartini

Di atas adalah sepenggal surat yang ditulis Kartini  kepada R M Abendanon-Mandri bertanggal 21 Januari tahun 1901. R.A Kartini, sosok pahlawan Indonesia yang termasyur sebab kegigihannya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Salah satunya adalah mengenai hak untuk mendapatkan pendidikan.

Menengok sebentar ke masa perjuangan Kartini, ketika itu memang perempuan adalah sosok yang “di anak tiri-kan” oleh tradisi Jawa. Seperti yang dialami oleh dirinnya sendiri. Sosok yang terlahir  di Jepara pada 21 April 1879 ini tidak mendapat kesempatan untuk bisa melanjutkan pendidikannya. 

Di usia 12 tahun, dirinya harus sudah bersiap untuk dipinang oleh seorang pria. Sementara hasratnya untuk melanjutkan menimba ilmu di Belanda sangat besar. Namun apa daya hal tersebut ditolak mentah-mentah oleh sang Ayah, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat.

Sudah jamak diketahui bahwa Kartini adalah sosok yang termasuk beruntung saat itu. Setidaknya dia pernah merasakan bangku sekolah, dengan duduk di ELS (Europese Lagere School). Maklum, fasilitas itu bisa didapatkan karena memang Kartini adalah keturunan bangsawan. Lantas bisa dibayangkan bagaimana keadaan perempuan lain yang terlahir dalam garis keturunan keluarga biasa?

Menjadi bagian dari kalangan priyayi tidak membuatnya menutup mata akan keadaan di sekelilingnya, terutama keadaan sosial permpuan pribumi.  Kartini tidak hanya memperjuangkan haknya seorang diri, melainkan juga hak dari para kaum perempuan Jawa saat itu.

Kartini menyadari bahwa dirinya harus bergerak melawan segala belenggu yang ada. Namun meskipun demikian, bukan berarti dia lantas menolak perjodohan dirinya dengan seorang Bupati Rembang, K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat sebagai langkah awal untuk memulai perlawanan. Pernikahan tetap berlangsung. Kartini memilih mengenyampingkan egonya untuk sementara, semi menunjukkan rasa hormat dan sayangnya terhadap keluarga, terutama sang ayah. 

Menikah nyatanya menjadi strategi tersendiri bagi Kartini untuk bisa tetap mewujudkan cita-citanya. Sang suami yang mengetahui cita-cita mulias tersebut, turut memberikan dukungan untuk Kartini . Terbukti, sebuah sekolah khusus bagi perempuan pribumi didirikan di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang. 

Tiada yang tahu berapa lama seseorang bisa hidup. Di usianya yang masih terbilang muda, 25 tahun, Kartini harus mengakhiri seluruh perjuangannya, kembali menghadap ke Sang Pencipta.

Era Baru Feminisme

Perjuangan dalam membela hak-hak perempuan faktanya tidak hanya dilakukan di dalam negeri. Sudah lama perempuan di luar sana faktanya juga banyak mengalami hal yang tidak jauh berbeda dengan Kartini. 

Bedanya, mereka memilih menggunakan istilah ‘Feminisme’, yang mana akhir-akhir ini gaungnya semakin marak terdengar di dalam negeri. Bisa dilihat dalam berbagai kegiatan peringatan Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 4 Maret 2018 kemarin yang banyak mengangkat topik ‘feminisme’.

Menyuarakan sesuatu yang berbau emansipasi atau feminisme sebenarnya bukanlah suatu hal yang salah. Sebab tujuan utama dari gerakan-gerakan berpemahaman demikian adalah untuk mengingatkan kembali betapa pentingnya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam beberapa bidang seperti pendidikan, politik, sosial, dan ekonomi. Namun ada kalanya perkembangan gerakan sejenis pada zaman modern ini nampaknya perlu mendapat perhatian khusus.

Belakangan sebagian feminis memiliki pemahaman yang agaknya melenceng. Para feminis moderen –khususnya Barat ini menafsirkan feminisme sebagai gerakan anti lelaki, mencemooh perkawinan, menghalalkan aborsi, merayakan lesbianisme dan revolusi seks. 

Dari pendapat yang pernah dikemukakan oleh Marry A Kassian, dapat disimpulkan bahwa feminisme saat ini mulai mengkikis nilai-nilai moral dan agama. Feminisme yang berkembang saat ini lebih condong ke arah feminisme radikal. Pemaknaan feminisme yang demikian tentu juga sangat bertentangan dengan kaidah-kaidah sosial terutama dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Di Prancis.
Di Indonesia. 

Memaknai Kembali Feminisme

Penafsiran yang demikian  apabila dibandingkan dengan emansipasi yang dimaksud oleh R.A Kartini, tentu sangat jauh berbeda. Kartini merupakan sosok yang lembut dalam melakukan perjuangannya. Serta nilai-nilai yang diperjuangkan pun masih dalam batasan yang wajar dan tidak lepas dari kesadaran penuh akan bagaimana perempuan seharusnya.

Seperti salah satu bait surat mengawali tulisan ini. Kartini tidak menolak jika wanita memang harus menjadi seorang perempuan yang disibukkan dengan perkara domestik, seperti mengurus rumah dan anak. Ia lebih memfokuskan terhadap hal-hal yang lebih substansial dan mendasar.  Salah satunya pendidikan. Karena menurutnya, pendidikan yang dimiliki perempuan akan juga turut memberikan pengaruh tentang bagaimana seorang perempuan menyelesaikan pekerjaan domestiknya.

Hak-hak mendasar yang diperjuangkan oleh Kartini  ataupun tokoh-tokoh feminis terhadulu nyatanya bukan untuk memberikan sebuah perlawanan balik kepada laki-laki. Seperti yang dinyatakan oleh Erin Patria Pizzey (penulis buku Prone To Viloence), Iris Krasnov (penulis buku Surrendering to motherhood) bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan bukan seharusnya dianggap sebagai perseteruan atau pertarungan saling berebut posisi.

Melainkan perihal bagaimana membangun kerjasama dan hubungan timbal balik, dalam arti saling menopang bahu membahu membangun sebuah keluarga, bangsa dan negara, saling melengkapi, saling mengisi dan saling menghargai satu sama lain[1].

Melihat bagaimana feminisme radikal yang sedemikian rupa membuat kita seharusnya semakin membuka mata, mau untuk belajar lebih dalam. Bukan sekedar belajar dari kulit luarnya saja atau malah hanya ikut-ikutan tren feminisme kebablasan

Lebih dari itu, yang terpenting bagi seorang muslim, keyakinan akan emansipasi, feminisme, atau apapun itu yang sejenis, tidak seharusnya lantas menjadi berpaling dari pedoman yang telah ada –Al Qur’an dan Hadits. Sudah jelas bagaimana Allah SWT menempatkan kedudukan masing-masing, baik perempuan ataupun laki-laki (QS. 49:13).


[1] Syamsudin Arif ,Orientasi Diabolisme Dan  Pemikiran,Cet Ke-1(Jakarta :Gema Insani, 2008M)Hlm 103.
Source pic: Google

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ASUS ExpertBook B3 Flip (B3402), Laptop Idaman Jurnalis

JUMANJI: Dulu dan Sekarang

Dongeng Malam Minggu ku...