Intip Diskusi Bareng Remotivi, AJI, dan Cek Fakta Tempo (Dijamin SERU dan Nambah ILMU!)

Kemarin malam Jumat (26), aku berkesempatan untuk ikut diskusi online yang diadain sama Klinik misInformasi. Judul kegiatannya itu [Diskusi] Memperkuat  Legitimasi Jurnalis Saat Pendemi. 
Siapa aja pengisisnya? Gak tanggung-tanggung, 3 narasumber keren dihadirkan, ada Roy Thaniago (peneliti Remotivi), Asmil Bambani (Ketua Asosiasi Jurnalis Indonesia-AJI Jakarta), dan Ika Ningtyas (Cek Fakta Tempo).

As expected, acaranya keren.. banyak ilmu yang bisa diambil. Jadi menurutku, perlu untuk disebarluaskan.. karena mungkin ada temen-temen yang belum bisa ikut event tersebut. But, sebelum masuk ke beberapa penjabaran apa aja yang dibahas kemarin, aku mau kasih tahu sesuatu.. dan harap jadi perhatian reader semua! 

**Note:
1. Aku join event nya cuma sejam. Dari jam        20-21. Padahal sebenernya mulai jam 19.        Ya, meskipun udah diwanti-wanti, ternyata      ada halangan. Jadi baru bisa join jam 20. 
2. Meskipun sistemnya diskusi, aku nggak           bakal menampilkan tulisan dalam bentuk       transkrip (menuliskan dengan secara               lengkap sesuai yg diucapkan narasumber       dan moderator). Poin-poin yang berhasil         kutangkap, kucatat dengan bahasaku             sendiri, dan kemudian ku uraikan lagi             dalam tulisan berikut. 

Jadi, kalo kalian merasa... “yah, ini mah tulisan mengada-ngada” , “apaan sih, buang-buang waktu" .. dan ngerasa gak yakin, bakal dapat manfaat dari tulisan selanjutnya, you may leave.. ga papa ko :”) 

Lanjut..
(Anyway... terimakasih buat yang masih lanjut baca ini, dan berencana membaca bagian-bagian selanjutnya...)
Berikut beberapa bahasan yang aku sempat ikuti..



• Media dan Bisnis Korporasi Media

Belakangan makin banyak muncul perusahaan-perusahaan media. Otomatis, hal tersebut menjadikan persaingan diantara mereka juga makin ketat. Namun, sayangnya, keadaan persaingan bisnis media sekarang bisa dikatakan terjebak dalam logika industri. Artinya, keuntungan lah yang menjadi fokus utama. Akibatnya, mereka berlomba bikin konten-konten berita yang “laku" di pasar, tanpa mempedulikan kualitas dari konten berita yang dihasilkan.

Apalagi kalo kita lihat di bisnis media online. Jurnalis seolah selalu dikejar-kejar waktu. Masing-masing ingin dianggap sebagai media yang paling update, paling cepat mengabarkan peristiwa apapun ke masyarakat. 

Nah, karena buru-buru, kualitas konten berita pun dipertanyakan. Faktanya, marak sekali diantara para jurnalis yang menerapkan jurnalisme kloning. Praktik tersebut, jelas tidak sesuai dengan etika profesi jurnalistik. Kebanyakan kita membayangkan jurnalis itu orang yang turun lapangan, cari berita, mewawancarai narasumber, bikin transkrip, nulis berita, dsb. Tapi kalo jurnalisme kloning, itu wartawan dari suatu media dan media yang lain saling kerja sama, saling bagi-bagi berita, demi memenuhi target kecepatan update berita tadi. Tentu kalo kaya gitu, berita yang dihasilkan akan sangat lekat kaitannya dengan risiko plagiarisme

Tidak berhenti di isu plagiarisme, yang kemudian jadi persoalan adalah kebenaran informasi dalam berita. Bayangkan aja, kalo wartawan gak langsung turun lapangan; gak dokumentasi atau wawancara dan mendengar jawaban dari narasumber secara directly.. lantas gimana wartawan bisa mastiin kebenaran dari berita yang didapatnya dari hasil kloning tadi. Bisa jadi yang diproduksi malah misleading information atau bahkan hoax. –disini kemudian penting untuk memunculkan media yang mau punya andil menekan peredaran hoax yang ada, misalnya keberadaan Cek Fakta Tempo.

Setelah berita siap, yang jadi tantangan yaitu gimana bisa bikin berita tadi jadi pilihan pembaca. Nah, inilah kemudian yang memunculkan fenomena berita-berita clickbait. Berita ditulis dengan judul-judul yang bombastis; menghebohkan.. dan mungkin bahkan gak nyambung dengan isinya.. yang penting gimana bisa buat masyarakat tertarik; mau klik berita mereka. 

Mungkin beberapa temen-temen udah gak asing dengan trik ini, sehingga bisa menghindari praktik tersebut. Tapi nyatanya diluar sana lebih banyak masyarakat yang terkecoh berita clickbait. Dan ujung-ujungnya, yang dapat keuntungan cuma medianya aja. 

Next.. masih tentang bisnis media.
Selain seperti hal diatas, praktik lain yang kerap dilakukan oleh perusahaan media demi dapat untung adalah...

Melayani "pesanan" kelompok tertentu.

Maksudnya gimana?

Jadi gini... Coba sebutan apa aja nama media yang kalian tau. Terserah, mau tv, koran, radio, portal online, apapun, mau tingkat lokal ataupun nasional...
Aku yakin banyak banget, nama media yang bisa kalian sebutkan. 

Tapi, tau nggak, ternyata... media-media tadi itu hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Jadi gampangnya, ada perusahan A, nah ternyata perusahaan itu punya media k, l, m, n, o,...... yang beragam jenis dan rupanya. Istilahnya di ekologi media kita tuh sedang berlangsung sistem oligarki. Salah satu narasumber, bahkan  nyebutin kalo tahun 2012 mayoritas media kita dikuasai oleh 12 pemilik besar. 
Terus apa hubungan kepemilikan media dengan kualitas berita?

Well, BANYAK BANGET HUBUNGANNYA. DAN RUMIT.

Dua poin utama yang berhasil kutangkap...

1. Diversity of content
Karena yang punya sama, meskipun jenis media beda, “isi”-nya bakal sama. Isi ini luas ya, bukan sekadar pemilihan peristiwa yang dipilih untuk dijadikan berita, tapi juga termasuk ideologi dan cara pandang. 
--Di part diversity of content ini nggak terlalu dijabarkan. Buat yang masih kepo, stay tune on my next update yaa..

2. Dari watch dog menjadi lap dog
Istilah watch dog disini menggambarkan salah satu peran media.. yaitu melakukan pengawasan, terutama terhadap pemerintah atau kelompok-kelompok “tertentu". Aplikasi dari fungsi tersebut, harapannya bisa mewujudkan demokrasi di masyarakat. Misalnya, ketikaka ada isu korupsi di pemerintah, media harus berani mengungkap, menguak kebenaran di baliknya supaya gak lebih jauh merugikan masyarakat. 

Atau ketika pembuatan kebijakan oleh pemerintah, media harusnya bisa ngawal proses tersebut, buat mastiin kebijakan tersebut benar-benar demi kepentingan dan kebaikan rakyat. Akan tetapi, faktanya, tidak sedikit media di tengah  kita yang justru tidak berpihak ke rakyat. Misalnya aja, yang dulu sempat ramai... 
PROYEK MEIKARTA.

Pembangunan kompleks perumahan elit tersebut sebenernya masih penuh problem. Salah satu contoh, masalah perizinan. 
Meski demikian, iklan MEIKARTA di media tetap sangat gencar. Narasumber bahkan berani menyebutkan secara terang-terangan.. Misalnya KOMPAS. 

Gambar iklan MEIKARTA di Kompas dimuat di space dan durasi yang banyak. Tidak hanya itu, imbasnya, tidak ada satupun berita-berita terkait “persoalan" MEIKARTA yang dimuat oleh Kompas. --Selain proyek MEIKARTA, tentu masih banyak lagi. 

Mungkin temen2 juga menemui kalo beberapa media kita udah jelas-jelasan menunjukkan “kedekatan"dengan pemerintah atau kelompok tertentu, yang menjadikan mereka kemudian mendadak kehilangan taring ketika harus dihadapkan dengan “kedzaliman" yang menyangkut kelompok yang mereka dukung. Tidak melulu perkara pemilik yang memang merupakan tim sukses atau bagian dari parpol, tapi bisa jadi memang murni banyaknya cue iklan yang mampu dibeli oleh kelompok-kelompok tertentu.

• Bisnis Media Plat Merah

Media plat merah? 
Istilah tersebut disematkan untuk media yang dijalankan dengan sumber dana dari masyrakat alias pajak. Ya, contohnya TVRI, RRI.

Membahas daya tawar media plat merah di mata masyarakat, narasumber sepakat, keadaan yang berlangsung hanya memunculkan pandangan pesimistis. Menganggap bahwa media tersebut tidak pernah bekerja secara mantap.

Media plat merah ini justru menempatkan posisi mereka layaknya “humas" pemerintah. Narasi yang dibangun oleh TVRI, RRI akan sama dengan apa yang dikatakan pemerintah. Media publik yang memiliki fungsi pengawasan demi kepentingan publik, harusnya tidak berjalan demikian.

Contoh kasus lain.. persoalan media plat merah yang justru diperalat oleh elit pemerintah; DPR. DPR dengan seenaknya melakukan politik anggaran, yang kemudian berpengaruh terhadap pengelolaan media. Sebut saja Marzuki Ali yang pernah berjalan di TVRI. Harga iklan di utak-atik, sehingga tokoh elit ini bisa beriklan disana dengan harga murah.

Menghadapi kenyataan tersebut, tentu yang diharapkan adalah partisipasi publik. Publik harus menyadari uang yang mereka bayarkan dalam bentuk pajak , harus kembali ke mereka; memberi kebermanfaatan untuk publik. Publik harus berani bikin gerakan politik sipil yang lebih progresif, kuat, sehingga TVRI,RRI bisa lebih baik.

Dimana Posisi Jurnalis?

AJI tentu merupakan organisasi yang sangat mendukung upaya praktik jurnalis yang sesuai dengan etika profesi yang ada. Namun, tidak bisa dipungkiri, tidak sedikit jurnalis yang terdaftar dalam AJI  yang bekerja dibawah naungan media-media yang “bermasalah” tadi. 

Mau gimana lagi, bisa jadi para jurnalis itu sebenarnya memiliki kompetensi, namun karena sistem, lingkungan di perusahaan tempat mereka bekerja,  kinerja mereka harus melemah. 

Legitimasi jurnalis menjadi dipertanyakan. Sentiment anti media makin nyaring didengungkan. 

Ketika ada sejumlah kecil pers yang bersungguh-sungguh, masih mau berupaya turut menyukseskan praktik demokrasi.. mereka malah harus terbelenggu, dilemahkan, tidak berdaya, dijauhi.

Ya, sudah sering terjadi, media yang berusaha mengungkap kasus besar yang melibatkan kelompok elit, biasanya malah dipersekusi.. jurnalisnya diancam, dipenjarakan.. karena dianggap bermasalah pengiklan kemudian lari. Awalnya sekadar terbungkam, tapi kemudian menghilang.

Padahal konstitusi negara kita sudah menyebutkan bahwa jurnalis sebagai bagian dari pilar keempat demokrasi memiliki “kebebasan” dan “dilindungi". Ada undang-undang yang sebenernya bisa kasih “previlage” bagi media, demi kelancaran dalam menjalankan tugas mulianya.

Dengan demikian, ketika ketiga pilar demokrasi tidak bisa lagi diharapkan ikut membantu tegaknya praktik pers yang sehat, maka yang dibutuhkan peran dari masyarakat. Para media “independen" ini butuh bantuan dari masyarakat, pembaca untuk bisa bertahan.

Misalnya saja..
Melalui kesediaan berlangganan berbayar. Karena dengan mau berlangganan secara berbayar, media tidak perlu terlalu berpangku tangan pada jumlah klik, atau pengiklan sebagAI sumber dana mereka. 

Lalu, perlunya memiliki kemampuan literasi pembaca yang baik. Karena, dengan itu pembaca akan lebih  bijak, menghindari judul clickbait, tidak mudah terpengaruh hoax, dan tentunya dapat membedakan mana media yang berkualitas dan tidak.

..............................

Dari satu jam keikutsertaan ku, sepertinya memang belum semuanya bisa masuk dalam tulisan diatas. Tapi semoga, cukup memberi gambaran, dan tetap bisa memberi manfaat buat para readers.

Oh.. baru inget, ada ungkapan salah satu narasumber –lupa yang siapa, yang menurutku pas untuk dijadikan closing..

Bertahan di bisnis media itu gampang. Yang susah itu bertahan di praktik jurnalisme media.

Last...
My comment section are open. 
Kalian bisa menambahkan, jika memiliki hal  berkaitan dengan pembahasan diatas. Having a discussion..
Atau share pendapat kalian tentang topik diatas.. 
Atau.. kritik dan saran tulisan di atas.

Terimakasih 
Xoxo





Komentar

Postingan populer dari blog ini

ASUS ExpertBook B3 Flip (B3402), Laptop Idaman Jurnalis

JUMANJI: Dulu dan Sekarang

Dongeng Malam Minggu ku...