Sebungkus Gethuk yang Mahal...
Sabtu pagi –pekan lalu, saya diminta ibu untuk membeli jajanan gethuk.
Bagi yang belum tahu, gethuk adalah makanan yang terbuat dari singkong kukus yang ditumbuk dan biasa dinikmati dengan taburan parutan kelapa.Kami biasa membeli gethuk di penjual keliling di daerah tempat tinggal kami. Kami biasa memanggil penjual makanan tersebut "Mbak Dhiroh".
Di antara beberapa jenis makanan yang dijajakan, ada nasi kuning, nasi jagung, ketan sambel, gethuk, sawut, urap-urap, dan bothokan. Beragam makanan itu diletakkan di dalam keranjang yang ada di bagian depan sepeda, dan belakang sepeda (tempat boncengan).
Biasanya Mbak Dhiroh sudah lewat depan rumah kami jam 6-an. Sambil mengayuh sepedanya, Mbak Dhiroh meneriakkan nama-nama makanan yang dijual.
"Sego
kuning, sego jagung..."
"Ketan
sambel, gethuk, sawut..."
"Urap-urap,
bothokan... "
Meskipun
bertubuh kurus, suaranya cukup kencang. Dari kejauhan.. Kami sudah bisa
mendengar suara Mbak Dhiroh.
Mendengar
suara Mbak Dhiroh yang mendekat, buru-buru saya mengenakan kerudung dan
mengambil uang.
Tepat ketika
saya keluar rumah, Mbak Dhiroh juga sudah di depan.
"Mbak..
Tumbas" (Mbak.. Beli)
Mbak Dhiroh
pun turun dari sepedanya.
Pagi itu,
kami membeli 4 bungkus gethuk. Biasanya sih kami lebih suka beli nasi jagung. Tapi,
karena sudah lama tidak makan gethuk jadinya cuma gethuk aja.
Setelah
menerima kantong berisi 4 bungkus gethuk, tiba giliran untuk membayar makanan
tersebut.
"Pinten
mbak?" (Berapa mbak?).
"6000 ae La" jawab mbak Dhiroh.
Mendengar jawaban
tersebut, sontak membuat saya kaget.
"Loh,
pintenan mbak? Kok murah" (Berapaan mbak? Kok murah) tanya saya.
"Owalah
La... Sewu limangatusan" (1500-an perbungkusnya)
Mbak Dhiroh
kemudian melanjutkan, "iku ae sik ono sing ngenyang, njaluk sewu"
(Harga segitu aja masih ada yang nawar, minta 1000).
Seolah tidak
percaya, saya pun bertanya lagi untuk memastikan "loh ngge ta mbak? Prasa
kulo ko pun murah banget, tapi kok sik di-enyang" (beneran mbak? Menurutku
udah murah banget, tapi kenapa masih ditawar).
"Mbuh
prasaku ya wes murah. Wong ya, coba nggaweo dewe sampean.. Tuku kaspene,
ngedang, ndeploki, marut kelopo.e. Ngkuk tak tukune 2000. Palingan ya gak
gelem".
(Entahlah,
menurut saya juga sudah murah. Coba bikin sendiri kamu.. Beli singkongnya,
dikukus, ditumbuk, memarut kelapanya. Lalu saya beli 2000. Sepertinya tidak
akan mau --dibeli seharga 2000).
" Lah ngge
mbak.." (Iya mbak), jawab saya.
"Tapi
ya wes La.. Ngunu iku ancen ono" (Tapi ya sudah.. Yang seperti itu memang
ada), ucap Mbak Dhiroh sambil menyerahkan uang kembalian kepada saya.
"Maturnuwun
Mbak.." (Terimakasih Mbak..)
"Ngge,
suwun ngge" (Iya, terimakasih juga)
Mbak Dhiroh
kembali mengayuh sepedahnya sambil meneriakkan daganganya. Belum seberapa jauh
jarak kami, kemudian ada suara yang menghentikan Mbak Dhiroh.
"Dhiroh..
Tuku"..
" Ngge
Wak Yu.. " Mbak Diroh menuntun sepedanya menuju suara tersebut.
Tanpa
kusadari, senyum diwajah saya ikut mengembang melihat Mbak Dhiroh dari
kejauhan.
Sambil menikmati gethuk, yang terpikirkan oleh saya adalah...
Gethuk hari itu terasa begitu mahal.
Bukan persoalan rupiah yang harus dibayarkan. Tapi pelajaran yang saya dapatkan hari itu.Begitu
mahal.
Hari itu
Allah mengingatkan saya melalui mbak Dhiroh.
Barangkali
selama ini --di waktu-waktu yg lain, saya terlalu sering mbatin..
"kok mahal sih" , "ih ginian doang mahal banget" .
Mudah sekali
kasih judgment, tanpa benar- benar berpikir panjang.
Ya, meskipun
tidak sampai menawar di hadapan penjualnya (kecuali waktu belanja di malioboro,
hihi), tapi saat bayar di hati masih ngedumel, senyum ke penjualnya terpaksa,
atau bahkan saat sudah nggak di tempat belanja/ toko masih aja ngedumel..
---atau malah terus dibesar-besarin..
"Eh
masa itu tadi, beli ginian doang.. Mahal banget. Parah sih. Nyesel dah beli..
"
"Eh
besok kalo mau beli xxxx kalian jangan di situ lah.. Mahal banget. Padahal
barangnya gitu-gitu aja".
Ya, masih
mendahulukan prinsip... gimana caranya saya harus dapat untung sebesar-besarnya
dengn mengeluarkan uang seminim mungkin.
--kapitalis
; materialistis banget yak.. Wkwkwk
Hm, entah
apalah sebutannya..
Maksudnya
gini..
Harusnya ya
setidaknya coba bayangin apa yang dikata mbak Dhiroh tadi.. Tentang proses
bikin gethuk.
Atau.. Ya,
mungkin penjual lagi butuh uang (untuk hal urgent: biaya sekolah, obat, sakit)
jadi dagangannya dinaikin; lebih mahal dari yang lain..
Atau.. Ya,
sekadar.. Karena ini emang, satu-satunya sumber pemasukan untuk menghidupi
keluaraga..
Atau..
Kemungkinan-kemungkinan yang lain..
Atau gini
ngebayangin kalo lagi belanja di mall.. Kita sering dapat harga lebih mahal..
Belum lagi kalo ada tambahan pajak. Tapi dengan
mudahnya kita.. Ya udah bayar.. Namanya juga belanja di mall. Wajarlah..
Tapi kenapa
kalo belanja di warung, pasar, tempat makan tetangga, dagangan saudara/teman.. Kok kita kaya susah
nerima misal dikasih harga sedikit mahal.. atau sering juga malah nawar, minta dikasih murah.
Ya, bukan
berarti saya tidak akan pasrah atau iya-iya aja.. Ketika orang jual apa, terus
harganya dimahalin udah di luar batas normal (yang jatuhnya kita malah kaya
ditipu). Atau nggak nawar sama sekali ketika dikasih kesempatan nawar.. hehe (sepeti kalo lagi di malbor/bringharjo/lapak buku sebelah rumah pintar).
Tapi.. Ini
mengingatkan saya agar..
Ya ayolah La..
Jangan semua
cuma diliat dari yang tampak di mata aja.
Jangan dilihat cuma dari sisi diri sendiri aja.
Ya, jangan
sampe lah perkara beda "seribu-dua ribu" itu malah jadi penyakit di
hati sendiri dan menyakiti hati orang lain. Nambahin beban dosa kita. Kan
sayang..
Perkara
kecil (sepertinya).. Tapi bukankah setiap perkara, sekecil apapun itu ada
pertanggungjawabannya?
Komentar
Posting Komentar