Mewahnya Makan Angkringan





Beberapa pekan lalu saya mendapat tugas liputan sebuah forum diskusi terbuka antara kepala daerah dan karang taruna. Selepas kegiatan berlangsung, hadirin dipersilahkan untuk menikmati sajian yang telah disiapkan.

Saya menengok ke sisi di mana jamuan dihidangkan. Sungguh tidak biasa...

Saya mendapati sebuah lapak penjual dari kayu. Bukan gerobak biasa, tapi lebih seperti lapak angkringan.

Penasaran (dan karena perut memang mulai keroncongan), saya mulai mendekati lapak tersebut. Menatap lekat-lekat macam-macam makanan yang telah ditata rapi di atasnya.

Angkringan versi Mojokerto. (Dok. Pribadi)

‘Ya, ini memang sejenis angkringan Jogja. Ada nasi kucing dan aneka sate’,
batin saya.

Meski pemuda-pemudi di sekeliling saya sudah mulai heboh, mengambil apa-apa yang dihidangkan denga cepat, saya masih terdiam; mematung. Tidak, saya tidak sedang memikirkan mana yang harus saya pilih, nasi sambal teri atau nasi sambal goreng tempe.

Memandangi apa yang di depan saya membuat saya teringat Jogja. Ya, kota seribu angkringan. Sangat mudah menjumpai angkringan di sana. Angkringan hampir ada di setiap titik Jogja, baik di pinggiran jalan kota atau di dalam sudut –sudut kompleks pemukiman warga.




Kalo boleh saya berasumsi... Bagi masyarakat Jogja, sepertinya angkringan sudah seperti teras ke dua. Sebuah tempat asyik untuk bersantap santai sambil beramah –tamah, berbagi cerita, atau bahkan bertukar pikir (hal serius), tanpa khawatir kantong jebol meski berlama-lama.

Jika kalian termasuk orang yang lebih menikmati makan dengan ditemani teman ngobrol, cobalah makan di angkringan. Kalian dapat makan berhadapan dengan sang pemilik angkringan. Sambil mengaduk minuman yang  dipesan, sang pemilik akan menyempatkan diri untuk mengajak kalian bercengkrama.

Terlebih apabila kalian sudah menjadi pelanggan setia, wah... percakapan bakal menjadi lebih seru. Bukan lagi antara penjual dan pembeli, tapi seperti teman akrab.


Nasi kucing, gorengan, minuman hangat, kawan bercakap.
Lokasi: Angkringan sederhana dekat asrama. (Dok. pribadi)
 

Di gelapnya malam dengan diterangi temaram lampu senthir (lampu teplok minyak), ditemani sebungkus nasi kucing, segelas susu jahe, kawan, dan obrolan yang seru. Ahh.. It was truly heartwarming.

Mungkin kalian akan meragukannya..  Tapi, ya, itulah gambaran suasana  yang saya dapat ketika diajak seorang teman untuk makan di angkringan langganannya.





>>> Dari situ kiranya kita bisa belajar tentang kesetaraan. Sebab, di angkringan, semua sama. Tidak ada kasta. Ada mahasiswa, pekerja kantoran, abang gojek... Semua ‘nangkring’ di bangku yang sama.



Sementara bagi saya pribadi, yang tidak terbiasa makan di tempat (alias lebih sering takeaway, haha), bukan berarti angkringan lantas menjadi tidak berkesan. Tentu saja ada.

Bisa dibilang angkringan adalah ‘penyelamat saya’. Menu angkringan tidak luput dalam menemani keseharian saya selama kurang-lebih empat tahun di Jogja.  Terutama ketika uang BU belum turun, padahal kantong sudah tipis... Saya akan sangat mengandalkan angkringan.


Berbagai variasi lauk pendamping di angkringan: aneka gorengan, baceman dan sate.
Lokasi: salah satu spot angkringan favorit saya, angkringan depan kopma UIN.
(Dok. pribadi)

Bagaimana tidak, harga makanan di angkringan tergolong ramah di kantong. Sebungkus nasi kucing seharga 1500-2000. Itupun masih ada pilihan, umumnya nasi sambal teri atau nasi sambal tempe goreng. Lalu, pilihan lauk yang bervariasi –tersedia: beragam jenis gorengan, baceman tahu-tempe, dan aneka sate (telur puyuh, usus, rempelo-ati). Harganya? Amaaan... gorengan biasanya 500-an atau 2000 dapat tiga. Baceman 1000-2000an. Sate-satean 2000-3000an.

Bayangkan... Dengan paket hemat, hanya 5000 saja... kalian sudah dapat macam-macam. Setidaknya kebutuhan karbohidrat dan protein bisa terpenuhi. Plus, kalian tidak perlu ribet-ribet masak, tinggal makan.  Soal rasa, sudah.. jangan khawatir. Masuk kok di lidah.

(Oh iya, perihal harga di atas, itu versi angkringan sederhana ya.. kalau angkringan modern yang di sekitar area wisata, biasanya agak beda, lebih mahal. hehe).

Sampai di sini, ada di antara kalian yang mungkin penasaran... lah, emang bisa kenyang? Makan 1-2 bungkus nasi kucing, murah sih.. ya kan karena emang porsinya sedikit.

Hehe.. ini balik ke preferensi pribadi sih.. Kalo saya.. alhamdulillah kenyang atau ya... kalo lagi lapar banget, bisalah buat ngganjel perut.

Tapi, sebenenarnya tidak hanya perkara kenyang/ tidak, melainkan moment ketika menikmati menu angkringan.  Sepengetahuan saya, angkringan juga menjadi menu andalan bagi teman-teman mahasiswa –khususnya, teman se-kos/ se-asrama saya saat tinggal di Jogja.

Biasanya, ketika satu penghuni sudah beli angkringan, yang lain bakal nitip untuk dibelikan juga. Jadilah, kami makan bareng angkringan. Ya, kalian bisa menduga, pasti tidak hanya makan, kemudian selesai.  Bisa stay berlama-lam, meski angkringan sudah habis.

Sehingga, yang mengesankan bagi saya... di balik kesederhanaan menu angkringan, terdapat kemewahan: menghabiskan moment bersama, bertukar cerita, canda-tawa maupun keluh-kesah. –sebagaiman juga bisa didapat ketika makan di tempat, seperti yang saya ceritakan di atas.

>>> (Lagii).. dari angkringan kita bisa belajar...  Bahwa untuk menciptakan suatu momen hangat yang berkesan... tidak melulu harus dengan sesuatu yang mahal/ rumit. Ketika momen itu bisa muncul dari hal-hal kecil, sederhana, atau yang nampak murah dan remeh, bukankah itu justru luar biasa?   

---

Apakah kalian juga penikmat angkringan? 

Nasi sambal teri atau nasi sambl temp goreng?

Lauk pendamping andalan kalian apa?

Ada pengalaman berkesan bersama angkringan?

Share jawaban dan cerita kalian di kolom komentar yaa...

thank you :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ASUS ExpertBook B3 Flip (B3402), Laptop Idaman Jurnalis

JUMANJI: Dulu dan Sekarang

Dongeng Malam Minggu ku...