Umbi UWI yang Begitu Meresahkan



Sepertinya uwi di kebun belakang rumah kami sudah masuk waktu panen. Buktinya, belakangan ini saya sering menjumpai uwi di atas meja makan. Bagi yang simpan nomor saya, mungkin juga bosan dengan story WA saya yang banyak upload UWI. Hehehe

Bagi yan belum tahu, uwi adalah salah satu jenis umbi-umbian. Bentuknya tidak teratur, kulitnya kecoklatan. Bagian dalamnya ada yang berwarna ungu, kuning, atau putih. Biasanya Ibu dan Mbah hanya mengolah uwi dengan cara merebusnya bersama sejumput garam. Rasa original umbi tersebut memang plain alias tidak memiliki rasa. Ditambahin garam sedikit biar ada rasa, jadi lebih enak dimakan juga.

Tampak uwi. Dok.Google

Berbicara tentang konsumsi uwi, jujur saja..  jika  dibandingkan dengan penghuni rumah lainnya, saya satu-satunya yang tidak terlalu menyukai uwi. Ya, meskipun udah ditambahin garam, tetap saja kurang bisa menggugah saya untuk memakannya. Berbeda dengan ubi telo atau singkong, yang meski cuma dikukus/ direbus tanpa ada tambahan apa-apa, saya akan tetap suka dan dengan lahap menikmatinya.

Meski demikian, ketika melihat ada uwi di atas meja, saya tidak pernah merasa jengkel atau bahkan membencinya. Saya tetap makan, 1-2 potong... selebihnya, saya hanya memandanginya dengan perasaan resah, bersalah, dan agak terbebani. Haha... ya, kalian tidak salah baca. Mungkin terdengar aneh atau lebay. Tapi.. begitu memang adanya.

Tentu saja saya memiliki alasan atas hal tersebut. Tiap kali saya melhat uwi... otomatis itu akan membawa saya ke salah satu memori 5 tahun lalu, tepatnya 28 Oktober 2016. Yaitu saat Presentasi Final Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Nutrition Expo 6.

Saya bersama dua teman, Maulidia dan Regina mendapat kesempatan untuk melakukan presentasi hasil karya tulis kami. Saat itu kami yang masih duduk di kelas tiga SMA, mencoba untuk menuangkan ide dan inovasi kami dalam hal pengolahan sumber daya  pangan lokal. Kami mengusung umbi UWI.


Produk inovasi olahan UWI. Ini waktu kami bawa ke kelas,
dicobain sama temen-temen Mia 9. Suwon Rek saran dan masukannya! hehe. Dok. Pribadi.

Ingat betul saat itu kami sangat bersemangat dan percaya diri dalam memaparkan karya kami. Singkatnya, melalui inovasi produk olahan kami, kami yakin Uwi dapat kembali eksis, disukai masyarakat tidak terkecuali bagi anak-anak, dan dapat menjadi sebuah solusi untuk meningkatkan kesehatan serta perekonomian masyarakat.

Apa yang kami hadirkan nyatanya bukan hanya sekadar klaim sepihak. Bahkan para juri ahli turut mengamininya. Terbukti, kami keluar sebagai salah satu juara dalam ajang lomba yang diadakan oleh Fakultas Gizi dan Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia tersebut.

  Foto bersama setelah pengumuman juara. Dari Kiri: Pak Tri (Perwakilan kesiswaan yang mendampingi kami selama di UI), Regina, saya, dan Maulidia. Dok. Pribadi. 


Ya, kejayaan uwi di hari itu bagi saya pribadi menjadi semacam cambuk motivasi. Ingat betul saat para juri beharap agar kami tidak sekadar mengejar kemenangan. Sebuah ajang kompetisi hanyalah langkah awal. 

Ide yang sudah ada seharusnya tidak hanya berhenti di sebuah karya tulis. Melainkan harus ada upaya-upaya berkelanjutan untuk merealisasikan ide dan inovasi yang ada. Hal tersebut dimaksudkan agar nilai kebermanfaatannya benar-benar bisa dirasakan oleh orang lain.

Sehingga sejak saat itu saya ingin bisa berpartisipasi dalam upaya mengembalikan kejayaan pangan lokal, utamanya yang bersumber dari keanekaragaman hayati.

Bagimana mewujudkan diversivikasi pangan bagi masyarakat.

Bagaimana mengembalikan kecintaan terhadap makanan lokal.

Bagaimana meningkatkan kesahatan dan kesejahteraan  masyarakat melalui konsumsi pangan lokal.

Wes pokoke hal-hal sing berkaitan karo iku lah.

Waktu berlalu...

Saya sadar bahwa nyatanya saya belum banyak berbuat untuk bisa merealisasikan mimpi saya.

Hari ini masih sama saja dengan tahun-tahun sebelumnya.

Mengonsumsi uwi atau umbi lain yang sejenis masih dipandang sebelah mata. Banyak yang mengira, terutama dari generasi muda, jika mengonsumsi umbi lokal itu ndeso, katrok, ketinggalan jaman, miskin, gak mampu beli beras.. atau sebutan-sebutan lain,  yang tentunya membuat risih telinga.

Atau... Saat ada yang makan uwi/ umbi-umbian dikiranya lagi diet. Kalo nggak gitu, dikiranya sakit diabetes. Ya, memang uwi/ kebanyakan jenis umbi-umbian itu dikenal sebagai sumber karboidrat yang rendah gula. Jadi cocok untuk yang ingin diet/menderita diabetes.. Tapi ya mbok jangan langsung berpikir ke arah situ.

Nah, terus gimana?

Jadi.. saya juga sadar betul kalau saya nggak punya kapabilitas untuk benar-benar ambil peran besar dalam upaya merealisasikan keinginan saya di awal

Saya cuma bisa nulis ini. Ya, harapannya dari sini pembaca bisa terpantik untuk ikut memikirakan keresahan yang saya rasakan... #haha moon maap ya kalo kesannya menambah beban pikiran. Wkwkwk

Gimana, kepantik ndak?

Kalo iya, syukur lah, hehe... Kalian bisa langsung kepoin google buat lebih tau: kenapa fenomena semacam itu bisa muncul, kenapa pangan lokal itu penting, kenapa diversifikasi pangan penting... nggak hanya dari segi ilmu alamnya aja, bahasan ini juga menarik banget sebenernya ditinjau dari ilmu sosial.

Kalo nggak mau ya udah, tungguin... semoga bisa ada tulisan lanjutan terkait topik ini.

Terus yang nggak ngerasa kepantik gimana?

Ya susah sih.. ketertarikan antar orang akan suatu hal itu emang kadarnya beda-beda. Tapi tetep do’a saya, semoga bisa terpantik.. meskipun di lain waktu. wkwkwk

Ah sudahlah, karena bingung bikin closing, mari kita sudahi saja.

Terimakasih yang sudah membaca sampai akhir (dan ikut merasakan keresahan saya, hihi).

Semoga bermanfaat. J

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

ASUS ExpertBook B3 Flip (B3402), Laptop Idaman Jurnalis

JUMANJI: Dulu dan Sekarang

Dongeng Malam Minggu ku...